mpidmuhammadiyahkukar.org, Kukar : Kebijakan yang mewajibkan guru untuk hadir setiap hari di sekolah, terlepas dari jadwal mengajar, dan memberlakukan sanksi pemotongan gaji atau SP, adalah praktik yang patut dikritisi dari berbagai sisi. Meskipun niatnya mungkin untuk menegakkan disiplin, metode yang diterapkan justru berpotensi menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi ekosistem pendidikan. Dalam Islam, kepemimpinan dan manajemen harus didasarkan pada prinsip ‘adl (keadilan) dan ihsan (berbuat baik). Prinsip ini berlaku bagi pemimpin (kepala sekolah) maupun bawahan (guru).
- Keadilan (Al-Adl): Aturan yang mewajibkan kehadiran setiap hari tanpa mempertimbangkan beban kerja guru dapat dianggap tidak adil. Keadilan menuntut agar setiap individu diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Jika guru sudah menyelesaikan tugas mengajarnya, memaksa mereka untuk hadir hanya demi absen dapat dinilai sebagai pembebanan yang tidak proporsional. Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” Dalam konteks ini, memotong gaji sebagai sanksi atas ketidakpatuhan terhadap aturan yang tidak substansial bisa dianggap tidak adil. Keadilan juga berarti menimbang apa yang diperlukan dan apa yang tidak. Apakah kehadiran fisik guru tanpa kegiatan mengajar benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan? Atau justru menjadi beban yang tidak perlu?
- Berbuat Baik (Al-Ihsan): Pemimpin yang baik seharusnya bertindak dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Pendekatan yang mengandalkan ancaman dan hukuman adalah antitesis dari ihsan. Sebaliknya, pemimpin harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan memotivasi, di mana guru merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Pendekatan yang berlebihan dan represif dapat menimbulkan ketakutan dan kebencian, bukan loyalitas.
- Kesejahteraan Psikologis: Guru bukanlah robot. Mereka memiliki kehidupan pribadi, keluarga, dan kebutuhan untuk istirahat. Kewajiban hadir di sekolah setiap hari dapat mengikis batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, menyebabkan kelelahan, stres, dan burnout. Dampaknya adalah penurunan kualitas mengajar dan interaksi dengan siswa.
- Kontra-produktif: Waktu yang terbuang untuk “menunggu” di sekolah tanpa kegiatan yang jelas bisa digunakan oleh guru untuk hal-hal yang lebih produktif, seperti menyiapkan materi pelajaran, mengikuti pelatihan daring, atau berkolaborasi dengan guru lain di luar jam kerja formal. Pendekatan ini menunjukkan fokus pada proses (kehadiran), bukan pada hasil (kualitas pendidikan).
- Hilangnya Rasa Percaya: Aturan yang sangat ketat dan mengancam mengindikasikan ketidakpercayaan kepala sekolah terhadap profesionalisme guru. Ketika pemimpin tidak mempercayai bawahannya, hubungan kerja menjadi tegang dan kolaborasi yang sehat tidak bisa berkembang. Ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, di mana guru merasa diawasi dan tidak dihargai.
- Pendidikan yang Berkemajuan: Muhammadiyah menekankan pentingnya pendidikan yang holistik, tidak hanya berfokus pada kedisiplinan fisik, tetapi juga pengembangan karakter dan intelektual. Sekolah Muhammadiyah idealnya harus menjadi tempat di mana guru dan siswa berkembang secara optimal. Aturan yang tidak fleksibel dan terlalu dogmatis dapat menghambat kreativitas dan inovasi, yang merupakan roh dari pendidikan berkemajuan.
- Tafsir Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Kontekstual: Muhammadiyah mendorong penggunaan akal sehat dan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam. Memaksa guru untuk hadir hanya demi absensi tidak sejalan dengan semangat ini. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah sistem yang berbasis kinerja (performance-based), bukan hanya berbasis kehadiran. Guru harus dinilai berdasarkan kontribusinya dalam pembelajaran, inovasi, dan pengembangan siswa, bukan berdasarkan berapa lama mereka duduk di kursi.
- Kepemimpinan yang Berorientasi pada Pelayanan: Sesuai dengan ajaran K.H. Ahmad Dahlan, pemimpin harus menjadi pelayan umat. Kepala sekolah yang mengancam guru dengan pemotongan gaji tidak mencerminkan semangat pelayanan, melainkan otoritas yang menindas. Kepemimpinan ala Muhammadiyah haruslah kolaboratif, memberdayakan, dan suportif.
Penulis : Muhammad Ridwan, S.Pd.,M.Pd (Ketua Bidang Pendidikan & Kaderisasi PDPM Kukar)