Muhammadiyahkukar.Org, Tenggarong – Amal usaha Muhammadiyah (AUM) telah lama menjadi tulang punggung pergerakan, namun di balik kemegahannya tersimpan tantangan besar: krisis kaderisasi. Opini ini berargumen bahwa AUM, alih-alih menjadi ladang ideologis, kini cenderung menjadi entitas bisnis semata, mengikis fondasi spiritual dan keorganisasiannya.
Krisis ini bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar. Survei internal di beberapa AUM menunjukkan bahwa kurang dari 30% pimpinan dan staf aktif dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah. Artinya, banyak yang bekerja di bawah naungan Muhammadiyah, tetapi tidak merasa menjadi bagian dari gerakan itu. Mereka adalah profesional yang kompeten, tetapi bukan kader yang terikat pada misi dakwah. Hal ini diperparah oleh kebijakan rekrutmen yang lebih mengutamakan kompetensi teknis daripada komitmen ideologis. Sebagai hasilnya, AUM semakin menyerupai perusahaan atau institusi swasta pada umumnya, bukan lagi “rumah” bagi para pejuang dakwah.
Lemahnya integrasi antara AUM dan struktur organisasi utama juga memperburuk keadaan. AUM seringkali beroperasi secara otonom, membuat kegiatan Baitul Arqam atau pengkaderan lainnya menjadi formalitas, bukan kebutuhan mendesak. Akibatnya, generasi muda yang bekerja di AUM tidak mendapatkan pemahaman mendalam tentang Islam Berkemajuan atau filosofi pergerakan yang diusung oleh Muhammadiyah. Mereka bekerja untuk gaji, bukan untuk pengabdian.
Untuk mengatasi krisis ini, Pimpinan Muhammadiyah harus mengambil langkah tegas. Pertama, integrasi ideologi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari rekrutmen dan pengembangan karyawan. Kedua, perlu adanya model kaderisasi yang lebih relevan dan menarik bagi generasi profesional. Tanpa langkah-langkah relevan dalam menghadapi tantangan zaman, AUM akan kehilangan identitas dan ruhnya, dan Muhammadiyah hanya akan menjadi nama besar tanpa jiwa pergerakan.
Penulis : Bambang Ardiansyah, S.Pd ( Ketum Demisioner PD IPM Kutai Kartanegara 2019-2021)